iklan
iklan aku
Kamis, 10 Januari 2013
Jumat, 16 November 2012
"Ayah...Saya Terluka"
Malam ini saya
putuskan untuk menuliskan sepucuk surat ini padamu Ayah. Bertahun-tahun
lamanya saya hidup dalam kegelisahan yang tak kunjung reda
karena ada segumpal perasaan menyesakkan dada ini. Saya pikir
menuliskannya dalam untaian kata adalah cara tepat saya bisa membagi perasaan ini
padamu Yah. Saya memang tidak bisa menceritakannya langsung di
hadapanmu. Lidah ini pasti terasa kelu tanpa kata-kata yang bisa terucap
walaupun dada ini sesak penuh rasa.
Ayah…, mengingatmu
dalam masa-masa kecil saya terasa menyenangkan walaupun ada kenangan pahit
yang saya rasakan juga. Masih ingatkah
waktu dulu Ayah mengajari saya sepeda mini yang kita temukan sama-sama
di gudang rumah kakek? Ayah tentu masih ingat. Kenangan itu masih
melekat erat dalam jiwa saya. Ayah telah berusaha keras untuk menyulap sepeda yang
usang itu menjadi sepeda mini paling bagus yang pernah saya miliki, Ayah
mengganti tempat duduk
sepeda itu dengan warna merah menyala sehingga membuat saya begitu
bersemangat untuk menaikinya. Jatuh bangun saya berusaha untuk menguasai
sepeda itu, namun sayang saya masih belum berhasil, tapi Ayah melihat
semangat yang bergejolak ada dalam diri saya.
Pagi itu, di hari
Minggu Ayah berusaha membangun tidur nyenyak saya. Ayah membisikkan akan
mengajak saya untuk jalan-jalan ke “alun-alun” kota dengan
naik sepeda. Sontak mata bulat saya terbelalak gembira. Bergegas saya
menyiapkan diri, khawatir ajakan Ayah akan berubah. Ayah memang
telah bersiap diri dengan pakaian olahraga dan topi warna merah, senada
benar warnanya dengan tempat duduk sepeda saya.
Saya heran waktu
Ayah membawa sebilah tongkat, dan lagi-lagi Ayah tahu apa yang ada dalam
benak saya, Tak banyak bicara Ayah menyuruh saya untuk naik sembari
berkata, “ Tongkat ini untuk membantumu agar lekas bisa naik sepeda”.
Saya merasa tersihir oleh ucapan Ayah, dan ajaib begitu saya berusaha naik ayah
pelan-pelan mendorong dari belakang mulanya dengan tangan, namun diam-diam
tanpa sepengetahuan saya, Ayah mendorong dengan tongkat yang sudah
dipersiapkan.Wusss…Saya bisa melaju dengan sepeda yang didorong tongkat
oleh Ayah.
Ayah punya cara
yang berbeda untuk mengajari saya naik sepeda, dan Ayah juga punya cara
lain untuk menegur saya yang bandel tidak mau berhenti bermain air.
Apakah Ayah ingat saat itu, ketika saya bermain air dengan
ember di kamar mandi? Saya sudah cukup lama bermain air, tentu tidak
baik bukan buat anak kecil karena bisa membuat masuk angin. Ayah ternyata mengkhawatirkan
kesehatan saya.
Ayah
menegur saya, satu dua kali, namun saya tidak bergeming jua. Entah
mengapa tiba-tiba Ayah mendekati saya dengan membawa gayung lalu ,
“Byur… byuurr… byuuurrr, tanpa kata-kata lagi saya telah diguyur air
dari atas kepala
saya lengkap mengenakan
pakaian saya, tapi Ayah tak mau tahu. Ayah menghentikan ulah saya dengan terus
mengguyur saya beberapa saat lamanya. Saya menangis dan menggigil kedinginan. Saya benar-benar takut melihat Ayah
tanpa senyum mengguyur tubuh kecil saya.
Namun setelah itu Ayah
menggantikan pakaian basah dengan pakaian yang kering. Waktu itu saya hanya berdua
dengan Ayah di rumah, ibu masih belanja di warung. Saya masih terisak
pelan walaupun telah dibalut pakaian kering. Saya duduk menghadap kaca
jendela di ruang tamu. Saya terus menangis pelan-pelan dan
berharap ibu cepat pulang. Agak lama rupanya saya waktu itu baru melihat
ibu saya pulang dan
dengan kalap saya menghambur ke pelukan ibunya, mengadu dalam tangis saya yang pecah
seketika.
Ayah… kenangan
bersamamu masih banyak, saya tidak sanggup menuliskannya semua, karena
harus mengais file-file lama dalam pikiran saya yang penuh sesak. Tapi Ayah…, saya masih
ingin mengatakan sesuatu padamu bahwa ada satu hal rahasia yang ingin ungkapkan dengan
jujur padamu Ayah.
Tentu masih terekam dalam
memori Ayah waktu dulu saya mulai duduk di bangku kelas tiga Sekolah
Menengah Pertama, saya pernah membawa pulang teman sebangku saya ke
rumah. Saya baru sadar setelahnya Ayah, bahwa saya menyesal telah
membawa teman
saya
itu ke rumah. Perasaan itu masih
ada hingga sekarang, segumpal perasaan saya yang menyesakkan dada saya
Yah.
Teman saya itu perempuan yang dianugerahi
fisik yang sangat cantik dan rupawan. Tubuhnya yang imut
tapi langsing memiliki wajah Jepang, kedua matanya sipit dengan
tulang pipi yang menonjol, berhidung mancung dan ia memiliki bibir mungil yang seksi, rambut panjang dan
hitam
melengkapi kesempurnaan wajah cantiknya. Setiap orang yang melihatnya akan
langsung mengatakan dia cantik. Tak berbeda dengan sikapmu Yah. Saya
melihat dari cara Ayah memandang teman saya sangat berbeda, seperti
menyimpan kekaguman atas kecantikan yang dimiliki teman saya.
Mulanya saya
menepis perasaan itu Ayah, saya berpikir dengan akal sehat saya Ayah,
bahwa Ayah tak mungkin kagum seperti yang saya sangka. Tapi dugaan saya
salah besar Yah. Ayah memperlakukan dia berbeda dengan saya. Satu bulan lamanya, teman saya tinggal satu
kamar dengan
saya.
Alasannya karena rumah teman saya jauh, padahal harus menghadapi ujian
kelas tiga. Dengan simbiosis mutualisme, yaitu saya bisa belajar
dengannya karena buku-buku dia lebih lengkap dan dia bisa tinggal
bersama saya yang jarak tempat tinggal saya dengan sekolahan yang tak
begitu jauh. Ya semua sebetulnya baik-baik saja tapi saya tidak menduga ada resiko lain
yang saya harus hadapi, yaitu merasakan cemburu karena diperlakukan berbeda olehmu
Yah.
Perasaan saya
ternyata benar, Ayah sepertinya “jatuh hati” pada teman saya, kalau tidak
kenapa Ayah harus memberikan kasih sayang yang berlebihan pada teman
saya? Kenapa Ayah memanggil dia
dengan sebutan “Dik” padahal dengan saya tidak. Kenapa Ayah selalu
terlihat terpesona tiap kali berkata-kata dihadapan dia? Kenapa
Ayah selalu saja memberikan dia perhatian yang terbaik, misalnya
memberikan makanan kecil, selalu menanyakan kabar, selalu pula merasa
khawatir akan kesehatan teman saya dan selalu merasa cemas jika teman saya
menjadi tidak betah di rumah. Kenapa Ayah bersikap seperti itu? Dia
memiliki ayah sendiri. Ayah adalah ayah saya bukan ayah dia, jadi saya tidak
suka Ayah memberikan perhatian kepada dia lebih daripada saya. Saat
itulah saya belajar merasakan cemburu dan sakit hati darimu Ayah.
Saya menahan emosi
ini karena tidak ingin bertengkar dengan Ayah dan tidak ingin pula
bertengkar dengan teman saya. Tapi saya punya cara sendiri untuk
menyalurkan rasa cemburu ini. Ayah pasti merasakan setiap kali Ayah
bertanya tentang teman saya itu selalu saya menjawab sinis dengan
jawaban “tidak tahu”. Yah…, saya memang ingin memutuskan ingatan
Ayah pada teman saya yang setelah lulus SMP melanjutkan sekolah
ke luar kota. Saya sungguh terluka oleh sikapmu Yah. Saya pun saat itu berusaha
untuk menghapus jejak-jejak teman saya. Saya membakar foto teman saya. Tak
hanya itu, saya membakar surat dari teman saya yang
dikirim untuk menyakan kabar saya dan keluarga. Saya bahkan tidak sampaikan salam
teman saya kepadamu Yah. Saya ingin Ayah
tidak mengingatnya kembali dan saya ingin pula saya juga tidak
mengingat teman saya karena
luka ini sungguh sakit rasanya.
Saya putuskan untuk melupakan teman saya walau harus
butuh berbulan-bulan lamanya karena Ayah selalu saja berusaha
menanyakan kabar dia lewat saya. Ayah tahukah, bahwa tiap
kali Ayah bertanya seperti itu, hati saya tersayat, pedih sekali Yah.
Ayah…, saya memang
tidak memiliki fisik secantik dia, tapi saya adalah anakmu Yah, saya sangat
butuh kasih sayang tulusmu seperti waktu Ayah mengajari
saya bersepeda. Saya tidak ingin kasih sayang Ayah terbagi dengan anak
orang lain. Saya bisa terima Yah sebenarnya jika Ayah mau membagi kasih
sayang dengan orang lain, tapi dengan cara yang wajar Yah, tidak perlu
berlebihan Yah.
Ayah.., tidak tahu
bukan jika batin saya selalu menangis. Saya memang tidak jujur kepada Ayah. Andai saya
bisa terbuka mengutarakannya padamu pada saat itu juga, mungkin sesak dada
saya ini tidak terbawa sampai bertahun-tahun lamanya.
Kini saya telah tumbuh dewasa Ayah. Pengalaman
masa lalu saya semuanya saya jadikan kenangan terindah, kenangan yang
tak saya lupakan. Saya pun bisa
melalui hari-hari saya kembali dengan ceria tanpa harus dijejali dengan
pertanyaan Ayah tentang teman saya. Saya tahu, Ayah
merasakan apa yang saya rasakan, oleh karena itu Ayah tak lagi mau
bertanya kabar dia lewat saya, tapi justru menanyakanya langsung di
tempat tinggal teman saya. Saya tahu itu Ayah. Tapi Ayah menjaga
perasaan saya dan tidak mengungkit-ungkit nama teman saya dihadapan
saya.
Ayah…, kini usia
saya 30 tahun tahun, saya masih melajang. Ayah tahu kenapa? Masih
ada luka kecil yang membekas Yah, saya tidak mampu menghapusnya Yah.
Dari peristiwa cemburu saya pada Ayah tempo dulu itu ternyata sedikit
mempengaruhi saya dalam memandang laki-laki dan mempengaruhi saya
dalam memandang diri saya sendiri. Saya berpikir laki-laki pasti senang
pada perempuan berparas cantik. Padahal saya tidak memiliki itu, saya
merasa perempuan yang tidak memiliki kecantikan yang bisa dibanggakan seperti
perempuan-perempuan lainnya. Jadi saya takut merasa sakit hati yang kedua kalinya
Yah.
Ayah…, bukan maksud
saya menyalahkan sikap Ayah tempo dulu itu, bukan Ayah.. saya
hanya ingin mengabarkan tentang luka saya Ayah. Saya hanya ingin sembuh
dari luka saya Ayah. Saya berharap cara ini tepat, yaitu mengakui semuanya
dihadapan Ayah. Sebelum semua benar-benar terlambat Ayah, saya butuh
pengakuan darimu Ayah, bahwa saya adalah anak tercantikmu
yang pantas mendapatkan kaih sayangmu Yah. Pengakuan itu amat penting
bagi saya Yah, untuk kekuatan hidup saya yang mestinya tak punya waktu banyak lagi untuk
terus melajang.
Rasanya saya lebih lega yah
telah berbagi perasaan yang mengganjal denganmu Yah. Oh iya Ayah…, saya
ingin mengatakan bahwa saya sesungguhnya sayang sekali denganmu Yah. Saya selalu
mengingatmu Yah. Ayah hebat karena telah berhasil membesarkan empat orang anak Ayah walaupun harus
menjadi pencari nafkah tunggal. Saya tidak ingin membuat Ayah sedih.
Andai surat ini justru membuat Ayah sedih, saya minta maaf yang
sebesar-besarnya Yah. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi
mengobati luka ini. Saya hanya menurut kata hati saya saja Yah, bahwa
yang bisa mengobati luka adalah orang yang telah melukai itu sendiri,
seperti itu kira-kira yang diserukan kata hati saya. Sekali lagi saya
minta maaf Yah.
Peluk dan cium
sayang hanya untuk Ayah tercinta dari anakmu yang selalu merasa tenang
di didekatmu.
Anak Pertamaku Pengantar Keliling Dunia
Jika Allah berkehendak maka aku akan berkeliling dunia... amien... terterikkah Anda? kontak me di 085643415576
Selasa, 22 Mei 2012
Orang-orang sirkus
Aku sedang memperhatikan dan
merasakan bagaimana kehidupan orang-orang sirkus. Aku rasa
banyak hal yang bisa aku pelajari dari mereka. Satu yang pasti adalah semangat
mereka untuk selalu terbang ke tempat-tempat mereka bisa menghibur sekaligus
mereka bisa mendapatkan sejuput rejeki. Dari satu tempat ke tempat yang lain, mereka
memutar roda sirkus untuk memperpanjang
napas kehidupan mereka. Aku tidak tahu pasti bagaimana mereka bisa
bertahan pada ketidakstabilan itu, bagaimana mereka bisa menikmati kehidupan
yang jungkir balik itu. pasti ada semangat tinggi yang selalu menyelimuti mereka
untuk tetap bertahan.
Aku adalah orang luar bagi mereka,
aku hanya bisa merasakan sejauh penglihatan mata batinku saja. Bagi aku mareka
hebat dan professional. Aku anggep orang-orang sirkus itu seperti halnya para penyanyi
juga para penari yang selau loncat dari atu tempat ke tempat yang lain Ijinkan aku mengupas satu persatu kekagumanku dari semangat juang mereka:
1.
Mereka adalah orang yang disiplin. Bagaimana tidak karena tiap
tampil harus dengan proses panjang jadi tiap waktu harus mereka gunakan dengan
semestinya untuk berlatih dan berlatih dan berlatih selalu move!
2.
Mereka adalah orang yang menjunjung
tinggi apa itu rencana. Tentu saja membutuhkan rencana karena jika tidak
bagaimana mereka akan mengatur jadwal pementasan mereka
3.
Mereka adalah orang yang menjaga
kesehatan tubuh. Pasti jelas karena setiap tampil membutuhkan stamina
yang kuat.
4.
Mereka adalah orang yang sangat
mengerti kebersamaan. Jelas iya karena tidak mungkin mereka bisa tampil dengan
sendiri dan perseorangan.
5.
Mereka adalah orang yang satu komando satu tujuan. Ya atas
kekompakan mereka maka mereka akan meraih kesuksesan untuk tampilan mereka.
6.
Mereka adalah orang yang memiliki
pikiran tanpa batas. Tentu saja mereka membutuhkan ide-ide kreatif
tanpa takut pada benteng-bentang
norma dan hukum yang
menghambat pemikiran mereka dan membunuh karakter mereka
7.
Mereka adalah orang yang menghargai
betul apa itu proses. Ya betul sekali karena penampilan mereka berangkat dari
proses yang mereka lakukan dengan disiplin
8.
Mereka adalah orang yang bermental baja.
Ya tentu saja karena kadangkala mereka
harus menepiskan diri bahwa umur mereka sudah tergolong tua, tapi harus
dituntut untuk tetap enerjik
9.
Mereka adalah orang yang
memiliki kesempatan untuk bekerja sekaligus rekreasi di segala penjuru
dunia. Ya pastilah karena saat tampil di mana mereka juga tentu menyempatkan
diri untuk mampir ke objek wisata
10.
Mereka adalah orang yang memiliki penghasilan dari tiap tetes
keringat mereka dari awal proses latihan sampai mereka tampil. Iya betul sekali
penghasilan mereka sebanding dengan perjuangan
mereka.
Kiranya aku bisa tetap
mempunyai semangat seperti mereka. Berjuang dengan semangat sampai titik darah
penghabisan. Tabik !
Minggu, 25 Maret 2012
Niat “Bikin Gawe” Nggak Sech?!
Aku datang dengan doa tapi aku pulang dengan sumpah serapah.
Tertera jelas di undangan merah itu. Pukul 13.00 – 15.00, jadi aku bersiap dengan pangkaian yang sepantasnya, kebaya motif bunga biru yang aku padukan dengan kain batik coklat keemasan.. Ya aku akan menghadiri sebuah pesta pernikahan yang berbalut adat padang. Aku sebenarnya tidak mengenal mereka. Undangan itu lebih tepatnya ditujukan untuk ayahku. Aku datang karena aku mewakili ibu aku yang sedang menjadi “pagar ayu” di resepsi pernikahan anak pertama pak Haji Parno.
Kami datang selepas Dhuhur. Mendekati tempat resepsi, kendaraan hanya bisa berjalan merangkak padat. Ya penuh karena yang datang ke undangan kebanyakan dengan bermobil. “ Wah banyak undangannya neh. Mmm pasti mantab neh makanannya. Palagi pakai adat Padang neh.,” seruku dalam hati sambil menyberang pelan-pelan menju tempat resepsi
Di pintu masuk, masih banyak orang-orang bergerombol menunggu kerabatnya dan juga menunggu mobil pun motor mereka bisa keluar dari tempat parkir yang penuh sesak. Aku dan ayahku cepat-cepat mauk ke dalam tempat resepsi yang lebih banyak dihiasi warna merah menyala berpadu dengan warna kuning keemasan. Terasa banget serasa di Padang. Senyuman aku masih teruntai di wajahku sampai ketika aku bersalaman dengan pengantin perempuan. Itulah awal peritiwa yang bikin aku eneg plus sakit hati.
Saat bersalaman denganpengantin perempuan, ternyata si pengantin tidak melihat ke arahku. Pandangannya justru ke arah temannya yang ada di bawah panggung pengantin sembari berteriak “ayo sini photo dulu sama aku” jelas sekali ia tidak memperhatikan aku dan tidak konsentrasi kepadaku. Dia tidak mengindahkanku yang BENAR-BENAR NYATA ada di depan dia. Tak ada ucapan terimakasih ataupun mohon doa restu dari mulut pengantin perempuan. Aku benar-benar merasa sakit hati. Dia sungguh tidak menghargai aku, detik berikutnya rasa sakit mulai menjalar ke seluruh tubuh aku. Doa indah dan ucapan selamat yang sudah di ujung lidah kelu dan harus aku telan lagi cepat cepat , berganti dengan ucapan sumpah serapah yang aku lontarkan pelan-pelan, “ dasar pengantin perempuanya benar-benar tidak sopan. Aku salaman rasanya tidak dianggep sama sekali. Aku doain gak akan bahagia mereka!” sungut aku.
Belum reda emosi yang serasa panas menampar pipiku, ternyata harus diperparah dengan keadaan makanan yang LUDES tidak bersisa. Aku hanya menemukan meja yang berisi gelas-gelas kotor dan deretan meja yang hanya dipenuhi tempat nasi, lauk dan sayuran yang juga kosong,. Aku masih belum sepenuhnya percaya, aku dekatin lagi meja di seberang kiri panggung, hasilnya sama saja, tak ada makanan yang bersisa.
Lalu aku baru menyadari bahwa tamu-tamu undangan lainnya juga sebelas dua belas nasibnya dengan aku. Hasrat ingin makan dengan perut yang lapar, eh ternyata hanya menemukan tumpukan piring kosong. Orang-orang yang datang masih banyak, masih baerduyun-duyun dan mereka harus menelas ludah karena tak menemukan makanan. Anak-anak kecil yang sudah berdandan imut pun harus menahan rasa kecewa lantaran tak ada sedikitpun suguhan di meja.
Keadaan diperparah dengan dengan tak ada tanda-tanda makanan akan diisi lagi. Itu menyebabkan ubun-ubunku panas membakar. “ Masya Allah. Apa-apaan ini menelantarkan tamu undangan seperti ini bikin resepsi tapi gak ada makanannya, MEMALUKAN sekali!” seruku setengah tertahan dinatara kerumunan orang.
Salah satu ibu di depanku ikut menimpali “Padahal ini baru jam 2 lho mabak. Kahan undangannya mpe jam 3. Tahu seperti ini, amplopnya diambil lagi saja. Harusnya kalo nyebar undangan 100 misalnya, makanannya itu ya untuk 300 orang. Jangan dipas seperti ini. Kalau seperti ini namanya cumin cari keuntungan saja, nerima amplopnya tapi gak mberi suguhan “, ujar si ibu dengan mengkal.
Dan yang bikin aku makin gondok. Keluarga yang di atas panggung seolah-olah tidak mau tahu dengan keadaan yang terjadi. Padahal antara panggung dengan tempat suguhan makanan hanya berjarak 10 langkah. Sekali lagi sepuluh langkah. Benar-benar memalukan.
Aku yakin 100 persen orang-orang kecewa dan kalau mereka kecewa mereka tentunya menjadi tidak ikhlas memberikan sumbangan. Padahal kalau tidak ikhlas, rejeki yang diterima akan menjadi tidak barokha. Nah kalau tidak barokah akan menimbulkan bencana-bencana yang tak terduga. Ini sungguh Malapetaka yang tidak diharapkan bukan. Apalagi keluarga dan si pengantin perempuan sudah membuat aku sakit hati. Aku tidak akan pernah ikhlas untuk mendoakan kebahagiaan mereka.
Rabu, 07 Maret 2012
Panggil Aku SuperMom
Oleh : Endang Artiati Suhesti, wanita yang selalu menata hati
Judul : Swara Perempuan narasi Kekerasan Berbasis Gender
Penulis : Endang Listiani, dkk
Cetakan : Mei, 2010
Tebal : iii – 220 halaman
Penerbit : SPEK – HAM, Solo
Benar.Lelaki adalah pemimpin bagi perempuan tapi tidak bisa diartikan lelaki boleh melakukan perempuan dengan semena-mena ( Asma Nadia, penulis)
Di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari masih banyak kasus kekerasan rumah tangga yang terjadi, tak jarang perempuan sebagai korbannya. Kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan berbasis gender karena relasi gender tak setara. Buku bertajuk Swara Perempuan mencatat bahwa ada 428 kasus KDRT dan 234 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ditingkat Propinsi Jawa Tengah telah tertangani (hal. 102). Selain itu berdasarkan pemantauan dari LRC- KTHAM ( Legal resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia) Semarang, tercatat ada 149 Kekerasan Dalam rumah Tangga (suara merdeka, 1/12)
Data tersebut menggambarkan belum berfungsinya Undang-undang no 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-undang no 23 tahun 2004 tentang pemberantasan kekerasan dalam rumah tangga. Para korban kekerasan belum banyak yang berani melapor sehingga masih ada anggapan yang kuat dalam masyarakat bahwa kekerasan adalah aib yang harus disembunyikan sehingga perempuan yang menjadi korban tidak mengajukan kasus ini melalui proses hukum.
Lebih dari itu, hukum di Indonesia belum sepenuhnya melindungi kaum hawa. Maria Estianty, mantan isti penyanyi Ahmad Dani mengungkapkan kekecewaannya, “Saya mengalami kekerasan fisik, psikis, juga ekonomi. Saya direndahkan, dihina, minder (selama) enam bulan (saya) kurus kering, tapi katanya tidak terbukti soal kekerasan psikis. Saya kecewa dengan hukum di Indonesia. Jika hal seperti itu berlanjut, perempuan - perempuan lain yang mengalami KDRT akan pasrah karena pesimis. Perempuan memilih pasrah, inilah perempuan Indonesia, belum bisa ngapa-ngapain. ( Kompas, 25/11)
Oleh karena itu, lewat buku yang diterbitkan oleh SPEk Ham ini, Anda akan melihat bahwa kekerasan masih menjamur. Swara Perempuan berisi teriakan dan rintihan korban kekerasan yang mayoritas perempuan. Seperti pada beberapa “kisah nyata” tentang KDRT dalam buku ini. Perempuan dicitrakan sebagai makhluk inferior yang harus selalu tunduk dan patuh pada perkataan dan atau perilaku suami. Perempuan diposisikan untuk memandangnya sebagai suatu permakluman ketika hal itu terjadi. Suami adalah kepala keluarga, karena suami adalah yang mencari nafkah, karena suami adalah imam, karena suami lebih punya kekuatan dan kekuasaan, karena suami adalah kehormatan istri, dan karena suami, seorang istri secara tidak sadar telah menyumbangkan kekerasan terhadap dirinya. ( hal. 103 – 104).
Lemah sekaligus Kuat
Salah satu kisah Perempuan dalam Perkawinan Poligami ( hal 2 – 20 ), mengabarkan pada kita bahwa perempuan tidak punya hak untuk memilih. Rini sebagai istri keempat hanya bisa pasrah dan bertahan. Rini tidak membayangkan bahwa kehidupan perkawinannya sebagai istri keempat terasa sulit. Bukan saja karena secara ekonomi suaminya harus berbagi kepada empat orang istri yang masing-masing memiliki selusin anak, ia namun juga berbagi perasaan dan mendapatkan tekanan psikologis yang cukup besar.
Kekerasan rumah tangga juga dialami oleh Trias Tuti ( nama samaran, hal. 32). Ia tak lagi merasakan buah manis dan bahagia setelah pernikahannya dengan Paidi. Suaminya tak mempercayai keperawanannya sebagai istri yang telah dinikahi secara sah. Akibat dari itu, sikap suaminya menjadi acuh tak acuh.”Suamiku jarang mau antar jemput aku. Padahal ketika pacaran, dia berjanji akan selalu melindungiku, termasuk mengantar jemput.Dia bersikap seenaknya sendiri seolah-olah aku bukan istri, bukan siapa-siapa yang patut disayangi dan dilindungi. Bila aku sakit, capek, atau badmood, dia acuh saja, tak pernah menanyakan keadaanku, dia memberiku 200.000 – 300.000 perbulan padahal gajinya hampir satu juta perbulan” (hal. 36)
Perempuan dalam buku ini digambarkan sebagai pihak yang tersudutkan dan tidak mempunyai banyak pilihan. Sebagian dari mereka memilih untuk bertahan dalah hubungan rumah tangga yang tidak harmonis. Perceraian bagi mereka bukan sebuah solusi bijaksana. Apalgi jika perceraian itu bisa membuat orangtua dan keluarga terpukul. Kenyataanya, mereka ( terpaksa) mengatur segala urusan rumah tangga dan mendidik anak-anak seorang diri. Mereka tetap bergumul dengan kekerasan, tak jarang justru dari kondisi itulah membentuk mereka menjadi SuperMom
Langganan:
Postingan (Atom)