iklan

iklan aku

Jumat, 16 November 2012

"Ayah...Saya Terluka"

Malam ini saya putuskan untuk menuliskan sepucuk surat ini padamu Ayah. Bertahun-tahun lamanya saya hidup dalam kegelisahan yang tak kunjung reda karena ada segumpal perasaan menyesakkan dada ini. Saya pikir menuliskannya dalam untaian kata adalah cara tepat saya bisa membagi perasaan ini padamu Yah. Saya memang tidak bisa menceritakannya langsung di hadapanmu. Lidah ini pasti terasa kelu tanpa kata-kata yang bisa terucap walaupun dada ini sesak penuh rasa.
Ayah…, mengingatmu dalam masa-masa kecil saya terasa menyenangkan walaupun ada kenangan pahit yang saya rasakan juga. Masih ingatkah waktu dulu Ayah mengajari saya sepeda mini yang kita temukan sama-sama di gudang rumah kakek? Ayah tentu masih ingat. Kenangan itu masih melekat erat dalam jiwa saya. Ayah telah berusaha keras untuk menyulap sepeda yang usang itu menjadi sepeda mini paling bagus yang pernah saya miliki, Ayah mengganti tempat duduk sepeda itu dengan warna merah menyala sehingga membuat saya begitu bersemangat untuk menaikinya. Jatuh bangun saya berusaha untuk menguasai sepeda itu, namun sayang saya masih belum berhasil, tapi Ayah melihat semangat yang bergejolak ada dalam diri saya.
Pagi itu, di hari Minggu Ayah berusaha membangun tidur nyenyak saya. Ayah membisikkan akan mengajak saya untuk jalan-jalan ke “alun-alun” kota dengan naik sepeda. Sontak mata bulat saya terbelalak gembira. Bergegas saya menyiapkan diri, khawatir ajakan Ayah akan berubah. Ayah memang telah bersiap diri dengan pakaian olahraga dan topi warna merah, senada benar warnanya dengan tempat duduk sepeda saya.
Saya heran waktu Ayah membawa sebilah tongkat, dan lagi-lagi Ayah tahu apa yang ada dalam benak saya, Tak banyak bicara Ayah menyuruh saya untuk naik sembari berkata, “ Tongkat ini untuk membantumu agar lekas bisa naik sepeda”. Saya merasa tersihir oleh ucapan Ayah, dan ajaib begitu saya berusaha naik ayah pelan-pelan mendorong dari belakang mulanya dengan tangan, namun diam-diam tanpa sepengetahuan saya, Ayah mendorong dengan tongkat yang sudah dipersiapkan.Wusss…Saya bisa melaju dengan sepeda yang didorong tongkat oleh Ayah.
Ayah punya cara yang berbeda untuk mengajari saya naik sepeda, dan Ayah juga punya cara lain untuk menegur saya yang bandel tidak mau berhenti bermain air. Apakah Ayah ingat saat itu, ketika saya bermain air dengan ember di kamar mandi? Saya sudah cukup lama bermain air, tentu tidak baik bukan buat anak kecil karena bisa membuat masuk angin. Ayah ternyata mengkhawatirkan kesehatan saya. Ayah menegur saya, satu dua kali, namun saya tidak bergeming jua. Entah mengapa tiba-tiba Ayah mendekati saya dengan membawa gayung lalu , “Byur… byuurr… byuuurrr, tanpa kata-kata lagi saya telah diguyur air dari atas kepala saya lengkap mengenakan pakaian saya, tapi Ayah tak mau tahu. Ayah menghentikan ulah saya dengan terus mengguyur saya beberapa saat lamanya. Saya menangis dan menggigil kedinginan. Saya benar-benar takut melihat Ayah tanpa senyum mengguyur tubuh kecil saya.
Namun setelah itu Ayah menggantikan pakaian basah dengan pakaian yang kering. Waktu itu saya hanya berdua dengan Ayah di rumah, ibu masih belanja di warung. Saya masih terisak pelan walaupun telah dibalut pakaian kering. Saya duduk menghadap kaca jendela di ruang tamu. Saya terus menangis pelan-pelan dan berharap ibu cepat pulang. Agak lama rupanya saya waktu itu baru melihat ibu saya pulang dan dengan kalap saya menghambur ke pelukan ibunya, mengadu dalam tangis saya yang pecah seketika.
Ayah… kenangan bersamamu masih banyak, saya tidak sanggup menuliskannya semua, karena harus mengais file-file lama dalam pikiran saya yang penuh sesak. Tapi Ayah…, saya masih ingin mengatakan sesuatu padamu bahwa ada satu hal rahasia yang ingin ungkapkan dengan jujur padamu Ayah.
Tentu masih terekam dalam memori Ayah waktu dulu saya mulai duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, saya pernah membawa pulang teman sebangku saya ke rumah. Saya baru sadar setelahnya Ayah, bahwa saya menyesal telah membawa teman saya itu ke rumah. Perasaan itu masih ada hingga sekarang, segumpal perasaan saya yang menyesakkan dada saya Yah.
Teman saya itu perempuan yang dianugerahi fisik yang sangat cantik dan rupawan. Tubuhnya yang imut tapi langsing memiliki wajah Jepang, kedua matanya sipit dengan tulang pipi yang menonjol, berhidung mancung dan ia memiliki bibir mungil yang seksi, rambut panjang dan hitam melengkapi kesempurnaan wajah cantiknya. Setiap orang yang melihatnya akan langsung mengatakan dia cantik. Tak berbeda dengan sikapmu Yah. Saya melihat dari cara Ayah memandang teman saya sangat berbeda, seperti menyimpan kekaguman atas kecantikan yang dimiliki teman saya.
Mulanya saya menepis perasaan itu Ayah, saya berpikir dengan akal sehat saya Ayah, bahwa Ayah tak mungkin kagum seperti yang saya sangka. Tapi dugaan saya salah besar Yah. Ayah memperlakukan dia berbeda dengan saya. Satu bulan lamanya, teman saya tinggal satu kamar dengan saya. Alasannya karena rumah teman saya jauh, padahal harus menghadapi ujian kelas tiga. Dengan simbiosis mutualisme, yaitu saya bisa belajar dengannya karena buku-buku dia lebih lengkap dan dia bisa tinggal bersama saya yang jarak tempat tinggal saya dengan sekolahan yang tak begitu jauh. Ya semua sebetulnya baik-baik saja tapi saya tidak menduga ada resiko lain yang saya harus hadapi, yaitu merasakan cemburu karena diperlakukan berbeda olehmu Yah.
Perasaan saya ternyata benar, Ayah sepertinya “jatuh hati” pada teman saya, kalau tidak kenapa Ayah harus memberikan kasih sayang yang berlebihan pada teman saya? Kenapa Ayah memanggil dia dengan sebutan “Dik” padahal dengan saya tidak. Kenapa Ayah selalu terlihat terpesona tiap kali berkata-kata dihadapan dia? Kenapa Ayah selalu saja memberikan dia perhatian yang terbaik, misalnya memberikan makanan kecil, selalu menanyakan kabar, selalu pula merasa khawatir akan kesehatan teman saya dan selalu merasa cemas jika teman saya menjadi tidak betah di rumah. Kenapa Ayah bersikap seperti itu? Dia memiliki ayah sendiri. Ayah adalah ayah saya bukan ayah dia, jadi saya tidak suka Ayah memberikan perhatian kepada dia lebih daripada saya. Saat itulah saya belajar merasakan cemburu dan sakit hati darimu Ayah.
Saya menahan emosi ini karena tidak ingin bertengkar dengan Ayah dan tidak ingin pula bertengkar dengan teman saya. Tapi saya punya cara sendiri untuk menyalurkan rasa cemburu ini. Ayah pasti merasakan setiap kali Ayah bertanya tentang teman saya itu selalu saya menjawab sinis dengan jawaban “tidak tahu”. Yah…, saya memang ingin memutuskan ingatan Ayah pada teman saya yang setelah lulus SMP melanjutkan sekolah ke luar kota. Saya sungguh terluka oleh sikapmu Yah. Saya pun saat itu berusaha untuk menghapus jejak-jejak teman saya. Saya membakar foto teman saya. Tak hanya itu, saya membakar surat dari teman saya yang dikirim untuk menyakan kabar saya dan keluarga. Saya bahkan tidak sampaikan salam teman saya kepadamu Yah. Saya ingin Ayah tidak mengingatnya kembali dan saya ingin pula saya juga tidak mengingat teman saya karena luka ini sungguh sakit rasanya. Saya putuskan untuk melupakan teman saya walau harus butuh berbulan-bulan lamanya karena Ayah selalu saja berusaha menanyakan kabar dia lewat saya. Ayah tahukah, bahwa tiap kali Ayah bertanya seperti itu, hati saya tersayat, pedih sekali Yah.
Ayah…, saya memang tidak memiliki fisik secantik dia, tapi saya adalah anakmu Yah, saya sangat butuh kasih sayang tulusmu seperti waktu Ayah mengajari saya bersepeda. Saya tidak ingin kasih sayang Ayah terbagi dengan anak orang lain. Saya bisa terima Yah sebenarnya jika Ayah mau membagi kasih sayang dengan orang lain, tapi dengan cara yang wajar Yah, tidak perlu berlebihan Yah.
Ayah.., tidak tahu bukan jika batin saya selalu menangis. Saya memang tidak jujur kepada Ayah. Andai saya bisa terbuka mengutarakannya padamu pada saat itu juga, mungkin sesak dada saya ini tidak terbawa sampai bertahun-tahun lamanya.
Kini saya telah tumbuh dewasa Ayah. Pengalaman masa lalu saya semuanya saya jadikan kenangan terindah, kenangan yang tak saya lupakan. Saya pun bisa melalui hari-hari saya kembali dengan ceria tanpa harus dijejali dengan pertanyaan Ayah tentang teman saya. Saya tahu, Ayah merasakan apa yang saya rasakan, oleh karena itu Ayah tak lagi mau bertanya kabar dia lewat saya, tapi justru menanyakanya langsung di tempat tinggal teman saya. Saya tahu itu Ayah. Tapi Ayah menjaga perasaan saya dan tidak mengungkit-ungkit nama teman saya dihadapan saya.
Ayah…, kini usia saya 30 tahun tahun, saya masih melajang. Ayah tahu kenapa? Masih ada luka kecil yang membekas Yah, saya tidak mampu menghapusnya Yah. Dari peristiwa cemburu saya pada Ayah tempo dulu itu ternyata sedikit mempengaruhi saya dalam memandang laki-laki dan mempengaruhi saya dalam memandang diri saya sendiri. Saya berpikir laki-laki pasti senang pada perempuan berparas cantik. Padahal saya tidak memiliki itu, saya merasa perempuan yang tidak memiliki kecantikan yang bisa dibanggakan seperti perempuan-perempuan lainnya. Jadi saya takut merasa sakit hati yang kedua kalinya Yah.
Ayah, bukan maksud saya menyalahkan sikap Ayah tempo dulu itu, bukan Ayah.. saya hanya ingin mengabarkan tentang luka saya Ayah. Saya hanya ingin sembuh dari luka saya Ayah. Saya berharap cara ini tepat, yaitu mengakui semuanya dihadapan Ayah. Sebelum semua benar-benar terlambat Ayah, saya butuh pengakuan darimu Ayah, bahwa saya adalah anak tercantikmu yang pantas mendapatkan kaih sayangmu Yah. Pengakuan itu amat penting bagi saya Yah, untuk kekuatan hidup saya yang mestinya tak punya waktu banyak lagi untuk terus melajang.
Rasanya saya lebih lega yah telah berbagi perasaan yang mengganjal denganmu Yah. Oh iya Ayah…, saya ingin mengatakan bahwa saya sesungguhnya sayang sekali denganmu Yah. Saya selalu mengingatmu Yah. Ayah hebat karena telah berhasil membesarkan empat orang anak Ayah walaupun harus menjadi pencari nafkah tunggal. Saya tidak ingin membuat Ayah sedih. Andai surat ini justru membuat Ayah sedih, saya minta maaf yang sebesar-besarnya Yah. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi mengobati luka ini. Saya hanya menurut kata hati saya saja Yah, bahwa yang bisa mengobati luka adalah orang yang telah melukai itu sendiri, seperti itu kira-kira yang diserukan kata hati saya. Sekali lagi saya minta maaf Yah.
Peluk dan cium sayang hanya untuk Ayah tercinta dari anakmu yang selalu merasa tenang di didekatmu.

Anak Pertamaku Pengantar Keliling Dunia

Jika Allah berkehendak maka aku akan berkeliling dunia... amien... terterikkah Anda? kontak me di 085643415576

Selasa, 22 Mei 2012

Orang-orang sirkus


Aku sedang memperhatikan dan merasakan bagaimana kehidupan orang-orang sirkus.  Aku  rasa banyak hal yang bisa aku pelajari dari mereka. Satu yang pasti adalah semangat mereka untuk selalu terbang ke tempat-tempat mereka bisa menghibur sekaligus mereka bisa mendapatkan sejuput rejeki.  Dari satu tempat ke tempat yang lain, mereka memutar roda  sirkus untuk memperpanjang napas kehidupan mereka.  Aku  tidak tahu pasti bagaimana mereka bisa bertahan pada ketidakstabilan itu, bagaimana mereka bisa menikmati kehidupan yang jungkir balik itu. pasti ada semangat tinggi yang selalu menyelimuti mereka untuk tetap bertahan.
Aku adalah orang luar bagi mereka, aku hanya bisa merasakan sejauh penglihatan mata batinku saja. Bagi aku mareka hebat dan professional. Aku anggep orang-orang sirkus itu seperti halnya para penyanyi juga para penari yang selau loncat dari atu tempat ke tempat yang lain  Ijinkan aku mengupas satu persatu  kekagumanku dari semangat juang mereka:
1.      Mereka adalah orang  yang disiplin. Bagaimana tidak karena tiap tampil harus dengan proses panjang jadi tiap waktu harus mereka gunakan dengan semestinya untuk berlatih dan berlatih dan berlatih selalu move!
2.      Mereka adalah orang yang menjunjung tinggi apa itu rencana. Tentu saja membutuhkan rencana karena jika tidak bagaimana mereka akan mengatur jadwal pementasan mereka
3.      Mereka adalah orang  yang menjaga  kesehatan tubuh. Pasti jelas karena setiap tampil membutuhkan stamina yang kuat.
4.      Mereka adalah orang  yang  sangat mengerti kebersamaan. Jelas iya karena tidak mungkin mereka bisa tampil dengan sendiri dan perseorangan.
5.      Mereka adalah orang  yang satu komando satu tujuan. Ya atas kekompakan mereka maka mereka akan meraih kesuksesan untuk tampilan mereka.
6.      Mereka adalah orang yang memiliki pikiran tanpa batas. Tentu saja mereka membutuhkan ide-ide  kreatif  tanpa  takut pada benteng-bentang norma dan hukum yang menghambat pemikiran mereka dan membunuh karakter mereka
7.      Mereka adalah orang yang menghargai betul apa itu proses. Ya betul sekali karena penampilan mereka berangkat dari proses yang mereka lakukan dengan disiplin
8.      Mereka adalah orang yang bermental baja. Ya tentu saja karena kadangkala  mereka harus menepiskan diri bahwa umur mereka sudah tergolong tua, tapi harus dituntut untuk tetap enerjik
9.      Mereka adalah orang  yang  memiliki kesempatan untuk bekerja sekaligus rekreasi di segala penjuru dunia. Ya pastilah karena saat tampil di mana mereka juga tentu menyempatkan diri untuk mampir ke objek wisata
10.  Mereka adalah orang  yang memiliki penghasilan dari tiap tetes keringat mereka dari awal proses latihan sampai mereka tampil. Iya betul sekali penghasilan mereka sebanding dengan perjuangan  mereka.
Kiranya aku bisa  tetap mempunyai semangat seperti mereka. Berjuang dengan semangat sampai titik darah penghabisan. Tabik !


Minggu, 25 Maret 2012

Niat “Bikin Gawe” Nggak Sech?!

Aku datang dengan doa tapi aku pulang dengan sumpah serapah.

Tertera jelas di undangan merah itu. Pukul 13.00 – 15.00, jadi aku bersiap dengan pangkaian yang sepantasnya, kebaya motif bunga biru yang aku padukan dengan kain  batik coklat keemasan.. Ya aku akan menghadiri sebuah pesta pernikahan yang berbalut adat padang. Aku sebenarnya tidak mengenal mereka. Undangan itu lebih  tepatnya ditujukan  untuk ayahku. Aku datang karena aku mewakili ibu aku yang sedang menjadi “pagar ayu” di resepsi pernikahan anak pertama pak Haji Parno.
Kami datang selepas Dhuhur. Mendekati tempat resepsi, kendaraan hanya bisa berjalan merangkak padat.  Ya penuh karena yang datang ke undangan kebanyakan dengan bermobil. “ Wah banyak undangannya neh. Mmm pasti mantab neh makanannya. Palagi pakai adat Padang neh.,” seruku dalam hati sambil menyberang pelan-pelan menju tempat resepsi
 Di pintu masuk, masih banyak orang-orang bergerombol menunggu kerabatnya  dan juga menunggu mobil pun motor mereka bisa keluar dari tempat parkir yang penuh sesak.  Aku dan ayahku cepat-cepat mauk  ke dalam tempat resepsi yang lebih banyak dihiasi warna merah menyala berpadu dengan warna kuning keemasan. Terasa banget serasa di Padang. Senyuman aku masih teruntai di wajahku sampai ketika aku bersalaman dengan pengantin perempuan.  Itulah awal peritiwa yang  bikin aku eneg plus sakit hati.
Saat bersalaman denganpengantin perempuan, ternyata si pengantin tidak melihat ke arahku. Pandangannya justru ke arah temannya yang ada di bawah panggung pengantin sembari berteriak “ayo sini photo dulu sama aku” jelas sekali ia tidak memperhatikan aku dan tidak konsentrasi kepadaku. Dia tidak mengindahkanku yang BENAR-BENAR NYATA  ada di depan dia.  Tak ada ucapan terimakasih  ataupun mohon doa restu dari mulut pengantin perempuan.   Aku benar-benar merasa sakit hati. Dia  sungguh tidak menghargai aku, detik berikutnya rasa sakit mulai menjalar ke seluruh tubuh aku.   Doa indah dan ucapan selamat yang sudah  di ujung lidah kelu dan  harus aku telan lagi cepat cepat , berganti dengan ucapan sumpah serapah  yang aku lontarkan pelan-pelan, “ dasar pengantin perempuanya benar-benar tidak sopan.  Aku salaman rasanya tidak dianggep sama sekali.  Aku doain gak akan bahagia mereka!” sungut aku.  
Belum  reda  emosi yang serasa panas menampar pipiku, ternyata harus diperparah dengan  keadaan makanan yang LUDES tidak bersisa. Aku hanya menemukan meja yang berisi gelas-gelas kotor dan  deretan meja yang hanya dipenuhi tempat nasi, lauk dan sayuran yang juga kosong,. Aku masih belum sepenuhnya percaya, aku dekatin lagi meja di seberang kiri panggung, hasilnya sama saja, tak ada makanan yang bersisa.
Lalu aku  baru menyadari bahwa  tamu-tamu undangan lainnya juga sebelas dua belas nasibnya dengan aku.  Hasrat ingin makan dengan perut yang lapar, eh ternyata  hanya menemukan tumpukan piring kosong. Orang-orang yang datang masih banyak, masih baerduyun-duyun dan mereka harus menelas ludah  karena tak menemukan makanan. Anak-anak kecil yang sudah berdandan imut pun harus menahan rasa kecewa  lantaran tak ada sedikitpun suguhan di meja.
Keadaan diperparah dengan  dengan tak ada tanda-tanda makanan akan diisi lagi.  Itu menyebabkan ubun-ubunku panas  membakar. “ Masya Allah. Apa-apaan ini menelantarkan tamu undangan seperti ini  bikin resepsi tapi gak ada makanannya, MEMALUKAN sekali!” seruku setengah tertahan dinatara kerumunan orang.
Salah satu ibu di depanku ikut menimpali “Padahal ini baru jam 2 lho mabak. Kahan undangannya mpe jam 3. Tahu seperti ini, amplopnya diambil lagi saja. Harusnya kalo nyebar undangan 100 misalnya, makanannya itu  ya  untuk 300 orang. Jangan dipas seperti ini. Kalau seperti ini namanya cumin cari keuntungan saja,  nerima amplopnya tapi gak mberi suguhan “, ujar si ibu dengan mengkal.
Dan yang bikin aku makin gondok. Keluarga yang di atas panggung seolah-olah tidak mau tahu dengan keadaan yang terjadi. Padahal antara panggung dengan tempat suguhan makanan hanya berjarak 10 langkah. Sekali lagi sepuluh langkah.  Benar-benar memalukan.
Aku yakin 100 persen orang-orang kecewa dan kalau mereka kecewa mereka tentunya menjadi tidak ikhlas memberikan sumbangan. Padahal kalau tidak ikhlas, rejeki yang diterima akan menjadi tidak barokha. Nah kalau tidak barokah akan menimbulkan bencana-bencana yang tak terduga.  Ini sungguh Malapetaka yang tidak diharapkan bukan.  Apalagi  keluarga dan si pengantin perempuan sudah membuat aku sakit hati. Aku tidak akan pernah ikhlas untuk mendoakan kebahagiaan mereka.


Rabu, 07 Maret 2012

Panggil Aku SuperMom


 
Oleh : Endang Artiati Suhesti, wanita yang selalu menata hati

Judul     : Swara Perempuan narasi Kekerasan Berbasis Gender
Penulis  : Endang Listiani, dkk
Cetakan :  Mei, 2010
Tebal      : iii – 220 halaman
Penerbit :  SPEK – HAM, Solo


Benar.Lelaki adalah pemimpin bagi perempuan tapi tidak bisa diartikan lelaki boleh melakukan perempuan dengan semena-mena  ( Asma Nadia, penulis)

Di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari masih banyak kasus kekerasan rumah tangga yang terjadi, tak jarang perempuan sebagai korbannya. Kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan berbasis gender karena relasi gender tak setara. Buku bertajuk Swara Perempuan mencatat bahwa ada 428 kasus KDRT dan 234 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ditingkat Propinsi Jawa Tengah telah tertangani (hal. 102). Selain itu berdasarkan pemantauan dari LRC- KTHAM ( Legal resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia) Semarang, tercatat ada 149 Kekerasan Dalam rumah Tangga (suara merdeka, 1/12)

Data tersebut menggambarkan belum berfungsinya Undang-undang no 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-undang no 23 tahun 2004 tentang pemberantasan kekerasan dalam rumah tangga. Para korban kekerasan belum banyak yang berani melapor sehingga masih ada anggapan yang kuat dalam masyarakat bahwa kekerasan adalah aib yang harus disembunyikan sehingga perempuan yang menjadi korban tidak mengajukan kasus ini melalui proses hukum.

Lebih dari itu, hukum di Indonesia belum sepenuhnya melindungi kaum hawa. Maria Estianty, mantan isti penyanyi Ahmad Dani mengungkapkan kekecewaannya, “Saya mengalami kekerasan fisik, psikis, juga ekonomi. Saya direndahkan, dihina, minder (selama) enam bulan (saya) kurus kering, tapi katanya tidak terbukti soal kekerasan psikis. Saya kecewa dengan hukum di Indonesia. Jika hal seperti itu berlanjut, perempuan - perempuan lain yang mengalami KDRT akan pasrah karena pesimis. Perempuan memilih pasrah, inilah perempuan Indonesia, belum bisa ngapa-ngapain. ( Kompas, 25/11)

Oleh karena itu, lewat buku yang diterbitkan oleh SPEk Ham ini, Anda akan melihat bahwa kekerasan masih menjamur. Swara Perempuan berisi teriakan dan rintihan korban kekerasan yang mayoritas perempuan. Seperti pada beberapa “kisah nyata” tentang KDRT dalam buku ini. Perempuan dicitrakan sebagai makhluk inferior yang harus selalu tunduk dan patuh pada perkataan dan atau perilaku suami. Perempuan diposisikan untuk memandangnya sebagai suatu permakluman ketika hal itu terjadi. Suami adalah kepala keluarga, karena suami adalah yang mencari nafkah, karena suami adalah imam, karena suami lebih punya kekuatan dan kekuasaan, karena suami adalah kehormatan istri, dan karena suami, seorang istri secara tidak sadar telah menyumbangkan kekerasan terhadap dirinya. ( hal. 103 – 104).

Lemah sekaligus Kuat
Salah satu kisah Perempuan dalam Perkawinan Poligami ( hal 2 – 20 ), mengabarkan pada kita bahwa perempuan tidak punya hak untuk memilih. Rini sebagai istri keempat hanya bisa pasrah dan bertahan. Rini tidak membayangkan bahwa kehidupan perkawinannya sebagai istri keempat terasa sulit. Bukan saja karena secara ekonomi suaminya harus berbagi kepada empat orang istri yang masing-masing memiliki selusin anak, ia namun juga berbagi perasaan dan mendapatkan tekanan psikologis yang cukup besar.

Kekerasan rumah tangga juga dialami oleh Trias Tuti ( nama samaran, hal. 32). Ia tak lagi merasakan buah manis dan bahagia setelah pernikahannya dengan Paidi. Suaminya tak mempercayai keperawanannya sebagai istri yang telah dinikahi secara sah. Akibat dari itu, sikap suaminya menjadi acuh tak acuh.”Suamiku jarang mau antar jemput aku. Padahal ketika pacaran, dia berjanji akan selalu melindungiku, termasuk mengantar jemput.Dia bersikap seenaknya sendiri seolah-olah aku bukan istri, bukan siapa-siapa yang patut disayangi dan dilindungi. Bila aku sakit, capek, atau badmood, dia acuh saja, tak pernah menanyakan keadaanku, dia memberiku 200.000 – 300.000 perbulan padahal gajinya hampir satu juta perbulan” (hal. 36)

Perempuan dalam buku ini digambarkan sebagai pihak yang tersudutkan dan tidak mempunyai banyak pilihan. Sebagian  dari mereka memilih untuk bertahan dalah hubungan rumah tangga yang tidak harmonis. Perceraian bagi mereka bukan sebuah solusi bijaksana. Apalgi jika perceraian itu bisa membuat orangtua dan keluarga terpukul. Kenyataanya, mereka ( terpaksa) mengatur segala urusan rumah tangga dan mendidik anak-anak seorang diri. Mereka tetap bergumul dengan kekerasan, tak jarang justru dari kondisi itulah membentuk mereka menjadi SuperMom